Total Tayangan Halaman

Senin, 31 Oktober 2011

Pengertian Al-Ittihad dan Al-Hulul


Al-Ittihad
Al-Ittihad yakni penyatuan batin dan rohaniah dengan Tuhan. Karena tujuan fana’ dan baqa’ itu sendiri adalah Ittihad. Hal ini sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana’ dan baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Badawi yang dilihat hanya satu wujud yang berpisah dari yang lain karena yang dilihat dan dirasakan hanya stu wujud. Maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan).
      Dalam situasi ittihad yang demikian itu seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga alah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata :”hai aku”.
      Dengan demikian jika sang sufi mengatakan Maha Suci aku, maka yang dimaksud aku disitu bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan melalui Fana’ dan Baqa’.
      Faham ittihad ini juga dipahami dari keadaan ketika nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata : “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepadaMu ?”. Tuhan berfirman : Tinggalkan dirimu (lnyapkan dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
      Ayat dan riwayat diatas memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah yang caranya antara lain dengan beramal shaleh dan beribadah semata-mata karena Allah.
 Al-Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaanyamelalui fana’ menurut keterangan Abu Nasr Al-Tusi dalam Al-Luma sebagaimana yang dikutip Harun Nasution adalah Paham yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusiatertentu untuk mengambil tempat didalamnya  setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
            Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini bertolak dari dasar pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat pada dua sifat dasar , yaitu Bahut (ketuhanan) dan Nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat melalui teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama At-Tawasin.
Menurut Al-Hallaj bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Nabi Adam, karena dalam diri adam Allah menjelma sebagaimana agama nasrani. Ia menjelma dalam diri Isa as. Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuknya dapat pula dipahami dari isyarat yang terdapat dalam hadist yang artinya:
“Tuhan mencipataka Adam sesuai bentuknya”
Tokoh yang mengembangkan paham Al-Hulul adalah Al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Manshur Al-Hallaj. Ia lahir tahun 244H (858M) di negeri baidha salah satu kota kecil yang terletak di Persia.



Sumber bacaan:
Nata,Abuddin.2003.Akhlak Tasawuf.Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Al-Fana' dan Baqa'



AL-FANA’
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana’ berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana’ artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibnu Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk lainnya dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana’.
Untuk mencapai “ Liqa’ Allah “ ( pertemuan dengan Allah ) menurut penjelasan dalam surat Al-Kahfi : 110, ada dua kewajiban yang harus dijalankan terlebih dahulu:
   1. Mengerjakan amal sholeh ,dengan menghilangkan segala sifat tercela dan menetapkan sifat-sifat terpuji.
   2. Meniadakan segala sesuatu termasuk dirinya, sehingga yang ada hanyalah   Allah semata dalam beribadah. Inilah yang dimaksud menfana’kan diri.
Penghancuran diri itulah fana’ yang dicari oleh kaum shufi yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Banyak tokoh shufi yang telah mengatakan tentang fana’. Dalam sejarah tasawuf, Saydina Ali Bin Abi Tholib. Ia berkata : ”dan dalam fana’ ku(leburku) leburlah kefana’ anku, tetapi didalam keadaanku itulah aku mendapatkan Tuhan Allah.
Hakikat dari fana’ itu sendiri , dalam hal ini Al-Qusayri telah mengemukakan bahwa fana’ adalah lenyapnya indrawi. Tanda-tanda khasyaf adalah :
1.Ia fana’ dari dirinya sebab Tuhan telah nampak.
2.Ia fana’ dari sifat-sifat Tuhan , sebab rahasia ke-Tuhanan telah nampak.
3.ia fana’ terhadap segala yang bersangkutan sifatnya, sebab Tahqiqnya dzatullah.
Tanda mendapatkan Dzatullah adalah apabila kamu telah selesai saat dalam keadaan di atas .Fana’ mempunyai empat tingkatan yaitu :
1.      Fana’ Fi.Af Alillah.
               ”Tiada perbuatan melainkan Allah”.
               Tingkat pertama ini , seseorang telah mulai dimana akal pikiran mulai tidak lagi berjalan, melainkan terjadi dengan ilham , tiba-tiba nur Illahi terbit dengan hati sanubari , kehadiran hati besama Allah dalam situasi manapun, gerak dan diam telah lenyap menjadi gerak dan diamnya Allah .Dalam tingat fana’ ini hacurlah hijab dan kegelapan yakni , semua itu telah fana’ dan dengan fana’nya itu maka yang ada hanyalah Nur Iman dan Taukhid.

2.      Fana’ Fisshifat
   ” Tiada yang hidup sendiri melainkan Allah”
        Fana’ tingkat ini , seseorang sudah mulai dalam situasi putusnya diri dari alam indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan. Dalam arti bahwa situasi mematikan diri dan menisbatkan sifat Allah , menfana’ kan sifat-sifat diri ke dalam ke baqaan Allah yang mempunyai sifat sempurnya . Firman Allah dalam Al-Hasyr : 23, artinya:
        ” Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia , Maha Raja , Maha Suci,Yang Maha Sejahtera , yang mengaruniakan keamanan , Yang Maha Memelihara , Yang Maha Perkasa , Yang Maha Kuasa ,Yang Maha memiliki segala ke-Agungan ! Maha suci Allah dari segala apa mereka persekutukan.”. (Qs.Al-Hasyr 123)

3.      Fana’ Fil Asma
   ” Tiada yang patut dipuji melainkan Allah.”
    Pada tingkat ketiga ini seseorang sudah lebih dalam lagi fana’nya. Segal sifat keinsananya   telah lenyap sama sekali dari alam wujud yang gelap ini , masuk ke dalam alam ghoib.

4.      Fana’ Fidz Dzat
   ” Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah”.
   Pada fana’ yang ke empat ini seseorang telah memperoleh perasaan batin pada suatu keadaan yang tak berisi, tiada lagi kanan dan kiri. Tidak ada depan dan belakang .dia telah mencapai martabat”syuhudul Haqqi bil Haqqi” .Dia telah lenyap dari dirinya ssendiri, dalam keadaan mana hanya dalam kebaqa’an Allah semata.
   Dapat disimpulkan ringkasannya bahwa segalanya telah hancur lebur, kecuali wujud yang mutlak . Dan dapat juga diambil kesimpulan akhir yaitu dapat diambil penegrtian masalah fana’ yaitu membersihkan diri lahir batin , menfana’ kan segala penyerupaan-penyerupaan Allah dari sifat-sifat kekurangan .kebaruan.
   Hikmah fana’ antara lain:
1.      Dengan adanya fana’ kita dapat mengetahuidan mengerti tentang pentaukidan Tuhan semurni-murninya dalam arti tiada wujud mutlaq kecuali hanya Allah.
2.      Ma’rifat billah semurni-murninya tidak sekedar dengan pengakuan adanya dan ke-Esaan saja dengan ucapan kalimat syahadat tetapi mengenal Tuhan dalam arti ”ma’rifat”.
  AL-BAQA’
      Baqa’ merupakan akibat dari fana’. Secara harfiah baqa’ berarti kekal. Sedang menurut yang dimaksud sufi baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia karena lenyapnya (fana’) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat Ilahiah. Dalam istilah tasawuf fana’ dan baqa’ datang beriringan, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ahli tasawuf:
”Apabila tampaklah nur kebaqaan maka fanalah yang tiada dan baqa’lah yang kekal.”
      Jadi baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat untuk mencapai baqa’ itu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.
      Ketika Abu yazid telah fana’ dan mencapai baqa’ maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahaminya akan menimbulkan kesan seola-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia yaitu manusia yang mengalami pengalaman bathin bersatu dengan Tuhan. Diantara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya yaitu: ”tidak ada Tuhan selain saya, amat sucilah saya”.

Sumber bacaan:
Mz,Labib.2000.Memahami Ajaran Tasowuf.Surabaya:Tiga Dua.
Nata,Abuddin.2003.Akhlak Tasawuf.Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Rabu, 26 Oktober 2011

Psikologi Pendidikan Menurut Para Ahli


Psikologi pendidikan menurut para ahli, sebagai berikut:
1.     H.C. Whiterington
Psikologi pendidikan ialah suatu study yang sistematis tentang proses2 dan faktor2 yang berhubungan dengan pendidikan manusia.
2.     Lester D. Crow, Ph.D dan Alice Crow, Ph.D
Psikologi pendidikan dapat dipandang sebagai ilmu pengetahuan praktis,  yang berguna untuk menerangkan belajar sesuai dengan prinsip2 yang ditetapkan secara ilmiah dan fakta2 sekitar tingkah laku manusia.
3.     Carter V. Good
“Educational Psychology: a study of natural of learning”
Psikologi pendidikan adalah suatu study tentang hakekat belajar.
4.     WS. Winkel SJ, M.SC
Psikologi pendidikan ialah ilmu yang ,mempelajari prasyarat atau  faktor2 bagi pelajar di sekolah, berbagai jenis belajar dan fase2 dalam semua proses belajar.
5.     Drs. M.Dimyati Mahmud
a.     Psikologi pendidikan aplikasi/penerapan prinsip-prinsip psikologi dalam dunia pendidikan. Batasan ini bersifat abstrak dan umum, belum begitu jelas.
b.     Psikologi pendidikan adalah aplikasi atau penerapan prinsip-prinsip ilmiah tentang tingkahlaku manusia dalam dunia pendidikan.
c.      Psikologi pendidikan adalah aplikasi/ penerapan prinsip-prinsip ilmiah tentang tingkahlaku manusia yang mempengaruhi proses mengajar dan proses belajar.


Daftar Pustaka
Mahmud, M. Dimyati.1990. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Terapan. Yogyakarta: BPFE.
Mustaqim.2008. Psikologi Pendidikan. Semarang: Pustaka Pelajar