AL-FANA’
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud
sesuatu. Fana’ berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana’ artinya tidak tampaknya
sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Dalam hubungan ini Ibnu Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat
samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda
alam itu atas dasar permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu
kepada bentuk lainnya dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana’.
Untuk mencapai “ Liqa’ Allah “ ( pertemuan dengan Allah
) menurut penjelasan dalam surat
Al-Kahfi : 110, ada dua kewajiban yang harus dijalankan terlebih dahulu:
1. Mengerjakan amal sholeh ,dengan
menghilangkan segala sifat tercela dan menetapkan sifat-sifat terpuji.
2. Meniadakan segala sesuatu termasuk
dirinya, sehingga yang ada hanyalah Allah
semata dalam beribadah. Inilah yang dimaksud menfana’kan diri.
Penghancuran diri itulah fana’
yang dicari oleh kaum shufi yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang
adanya tubuh kasar manusia. Banyak tokoh shufi yang telah mengatakan tentang
fana’. Dalam sejarah tasawuf, Saydina Ali Bin Abi Tholib. Ia berkata : ”dan dalam
fana’ ku(leburku) leburlah kefana’ anku, tetapi didalam keadaanku itulah aku
mendapatkan Tuhan Allah.
Hakikat dari fana’ itu sendiri
, dalam hal ini Al-Qusayri telah mengemukakan bahwa fana’ adalah lenyapnya
indrawi. Tanda-tanda khasyaf adalah :
1.Ia fana’ dari dirinya
sebab Tuhan telah nampak.
2.Ia fana’ dari
sifat-sifat Tuhan , sebab rahasia ke-Tuhanan telah nampak.
3.ia fana’ terhadap
segala yang bersangkutan sifatnya, sebab Tahqiqnya dzatullah.
Tanda mendapatkan Dzatullah
adalah apabila kamu telah selesai saat dalam keadaan di atas .Fana’ mempunyai
empat tingkatan yaitu :
1. Fana’ Fi.Af Alillah.
”Tiada perbuatan melainkan
Allah”.
Tingkat pertama ini , seseorang
telah mulai dimana akal pikiran mulai tidak lagi berjalan, melainkan terjadi
dengan ilham , tiba-tiba nur Illahi terbit dengan hati sanubari , kehadiran
hati besama Allah dalam situasi manapun, gerak dan diam telah lenyap menjadi
gerak dan diamnya Allah .Dalam tingat fana’ ini hacurlah hijab dan kegelapan
yakni , semua itu telah fana’ dan dengan fana’nya itu maka yang ada hanyalah
Nur Iman dan Taukhid.
2. Fana’ Fisshifat
” Tiada yang hidup sendiri melainkan Allah”
Fana’ tingkat ini , seseorang sudah mulai dalam situasi putusnya diri
dari alam indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan. Dalam arti bahwa
situasi mematikan diri dan menisbatkan sifat Allah , menfana’ kan sifat-sifat
diri ke dalam ke baqaan Allah yang mempunyai sifat sempurnya . Firman Allah
dalam Al-Hasyr : 23, artinya:
”
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia , Maha Raja , Maha Suci,Yang Maha
Sejahtera , yang mengaruniakan keamanan , Yang Maha Memelihara , Yang Maha
Perkasa , Yang Maha Kuasa ,Yang Maha memiliki segala ke-Agungan ! Maha suci
Allah dari segala apa mereka persekutukan.”. (Qs.Al-Hasyr 123)
3. Fana’ Fil Asma
” Tiada yang patut dipuji melainkan Allah.”
Pada
tingkat ketiga ini seseorang sudah lebih dalam lagi fana’nya. Segal sifat
keinsananya telah lenyap sama sekali
dari alam wujud yang gelap ini , masuk ke dalam alam ghoib.
4. Fana’ Fidz Dzat
” Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah”.
Pada fana’ yang ke empat ini seseorang telah
memperoleh perasaan batin pada suatu keadaan yang tak berisi, tiada lagi kanan
dan kiri. Tidak ada depan dan belakang .dia telah mencapai martabat”syuhudul
Haqqi bil Haqqi” .Dia telah lenyap dari dirinya ssendiri, dalam keadaan mana
hanya dalam kebaqa’an Allah semata.
Dapat disimpulkan ringkasannya bahwa
segalanya telah hancur lebur, kecuali wujud yang mutlak . Dan dapat juga
diambil kesimpulan akhir yaitu dapat diambil penegrtian masalah fana’ yaitu
membersihkan diri lahir batin , menfana’ kan segala penyerupaan-penyerupaan
Allah dari sifat-sifat kekurangan .kebaruan.
Hikmah fana’ antara lain:
1. Dengan adanya fana’
kita dapat mengetahuidan mengerti tentang pentaukidan Tuhan semurni-murninya
dalam arti tiada wujud mutlaq kecuali hanya Allah.
2. Ma’rifat billah
semurni-murninya tidak sekedar dengan pengakuan adanya dan ke-Esaan saja dengan
ucapan kalimat syahadat tetapi mengenal Tuhan dalam arti ”ma’rifat”.
AL-BAQA’
Baqa’
merupakan akibat dari fana’. Secara harfiah baqa’ berarti kekal. Sedang menurut
yang dimaksud sufi baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat
Tuhan dalam diri manusia karena lenyapnya (fana’) sifat-sifat basyariah, maka
yang kekal adalah sifat-sifat Ilahiah. Dalam istilah tasawuf fana’ dan baqa’
datang beriringan, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ahli tasawuf:
”Apabila tampaklah nur kebaqaan maka
fanalah yang tiada dan baqa’lah yang kekal.”
Jadi
baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu
pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat untuk mencapai baqa’ itu
dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah dan menghiasi
diri dengan akhlak terpuji.
Ketika
Abu yazid telah fana’ dan mencapai baqa’ maka dari mulutnya keluarlah kata-kata
yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahaminya akan menimbulkan kesan
seola-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang sesungguhnya
ia tetap manusia yaitu manusia yang mengalami pengalaman bathin bersatu dengan
Tuhan. Diantara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya yaitu: ”tidak ada Tuhan
selain saya, amat sucilah saya”.
Sumber bacaan:
Mz,Labib.2000.Memahami
Ajaran Tasowuf.Surabaya:Tiga Dua.
Nata,Abuddin.2003.Akhlak Tasawuf.Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar